Hukuman yang menDisiplinkan
Menurut UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 disebutkan
“ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara .”
Pendidik/tenaga kependidikan mempunyai tanggung jawab untuk
membimbing, mengajar dan melatih murid atas dasar norma-norma yang
berlaku baik norma agama, adat, hukum, ilmu dan kebiasaan-kebiasaan yang
baik. Agar terwujudnya tujuan itu perlu ditanamkan sikap disiplin,
tanggung jawab, berani mawas diri, beriman dan lain-lain. Hukuman pun
sering diterima siswa manakala mereka melanggar tata tertib yang telah
disepakati. Maksud hukuman sebagai upaya mendisiplinkan siswa
terhadap peraturan yang berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang
prinsip bahwa disiplin itu merupakan kunci sukses hari depan.
Teori hukuman adalah salah satu alat dari sekian banyak alat yang
digunakan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi
perilaku yang tidak diinginkan. Dalam memberi hukuman sebaiknya kita
perlu memperhatikan frekuensi, durasi dan intensitas pemeberian hukuman.
Hukuman bukan berorientasi pada karakter dan sifat anak yang cenderung
tidak tampak melainkan lebih pada perilaku tampak yang bisa diubah,
dikurangi dan atau ditingkatkan.
Sekarang pertanyaan mengapa seorang guru menghukum muridnya? Menurut
Mamiq Gaza dalam artikelnya yang berjudul Pedoman Pendidikan Tanpa
Kekerasan, Guru menghukum siswa dengan bijak.
Faktor-faktor siswa dihukum yaitu :
- Warisan generasi sebelumnya
- Tidak tertancapnya tujuan pengembangan siswa
- Keterbatasan guru pada ilmu psikologi perkembangan anak
- Minimnya kreativitas pendekatan guru
- System sekolah
Beliau juga menyebutkan juga dalam artikel yang sama tentang prosedur cara memberikan hukuman pada anak nyaitu:
- Jenis hukuman yang diberikan perlu disepakati di awal bersama anak
- Jenis hukuman yang diberikan harus jelas sehingga anak dapat memahami dengan baik konsekuensi kesalahan yang dilakukan.
- Hukuman harus dapat terukur sejauh mana efektivitas dan keberhasilannya dalam mengubah perilaku anak.
- Hukuman harus disampaikan dengan cara yang menyenangkan, tidak disampaikan dengan cara menakutkan apalagi memunculkan trauma berkepanjangan.
- Hukuman tidak berlaku jika ada stimulus diluar control. Artinay siswa melakukan kesalahan karena sesuatau yang tidak ia ketahui sebelumnya atau belum disepakati/belum dipublikasikan di awal.
- Hukuman dilaksanakan secara konsisten.
- Hukuman segera diberikan jika perilaku yang tidak diinginkan muncul. Penundaan akan berakibat pada biasnya tujuan hukuman yang diberikan.
Menurut Drs. Marijan, tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara
berpesan mengemukakan pendapatnya bahwa dalam memberikan hukuman kepada
anak didik, seorang pendidik harus memperhatikan 3 macam aturan:
- Hukuman harus selaras dengan kesalahan. Misalnya, kesalahannya memecah kaca hukumnya mengganti kaca yang pecah itu saja. Tidak perlu ada tambahan tempeleng atau hujatan yang menyakitkan hati. Jika datangnya terlambat 5 menit maka pulangnya ditambah 5 menit. Itu namanya selaras. Bukan datang terlambat 5 menit kok hukumannya mengintari lapangan sekolah 5 kali misalnya. Relasi apa yang ada di sini ? Itu namanya hukumn penyiksaan.
- Hukuman harus adil. Adil harus berdasarkan atas rasa obyektif, tidak memihak salah satu dan membuang perasaan subyektif. Misalnya siswa yang lain membersihkan ruangan kelas kok ada siswa yang hanya duduk – duduk sambil bernyanyi-nyanyi tak ikut bekerja. Maka hukumannya supaya ikut bekerja sesuai dengan teman-temannya dengan waktu ditambah sama dengan keterlambatannya tanpa memandang siswa mana yang melakukannya.
- Hukuman harus lekas dijatuhkan. Hal ini bertujuan agar siswa segera paham hubungan dari kesalahannya. Pendidik pun harus jelas menunjukkan pelanggaran yang diperbuat siswa. Dengan harapan siswa segera tahu dan sadar mempersiapkan perbaikannya. Pendidik tidak diperkenankan asal memberi hukuman sehingga siswa bingung menanggapinya.
Itulah wasiat Ki Hajar Dewantara yang dapat kita
digunakan sebagai pedoman dan pertimbangan oleh kita sebagai guru /
kepala sekolah yang sering mengangkat dirinya berfungsi ganda. Pertama
berfungsi sebagai polisi, kemudian jaksa dan sekaligus sebagai hakim
di sekolahnya. Guru/kepala sekolah memang mempunyai hak dan superioritas
yang tinggi terhadap siswanya. Hal ini boleh kita lakukan asalkan tidak
merugikan anak didik. Hal itulah yang menuntut pendidik bersifat bijak ,
sehingga hukuman tak boleh semena-mena terhadap anak didik.
Psikologis anak perlu sentuhan yang halus , lentur dan manis
sehingga bisa membuat sensivitas perasaannya terasah normal. Hukuman
terhadap siswa harus berlandaskan keseimbangan. Apabila masih belum bisa
ditolerir dikenakan hukuman skorsing tidak boleh mengikuti kegiatan
sekolah. Sedangkan hukuman di strata puncak jika memang sekolah tidak
mampu membina lagi, kembalikan kepada orang tuanya.
Dengan demian hendaknya kita selalu berfikir positif tentang anak.
Dengan demikian yang menjadi orientasi adalah perilaku positif anak
bukan perilaku yang negatif yang selalu kita cari-cari. Sebab perilaku
negatif cenderung muncul karena kita sendiri yang merangsang
kemunculannya, semua berasal dari pikiran negatif kita tentang anak.
Kita harus memiliki konsep utuh akan membawa kemana anak didik kita
dengan menggunakan cara apa yang paling tepat.
Selain dari itu harus meningkatkan diri dengan memperbanyak
pengetahuan tentang dampak hukuman dan kekerasan bagi anak di masa
depannya dengan berbagai sumber informasi. Yang tak kalah pentingnya
menghargai kemampuan dan kelebihan anak. Dengan kata lain tidak hanya
memfokuskan perhatian pada kelemahan dan keterbatasan anak tetapi juga
memfokuskan diri pada hal-hal yang menyenangkan anak.
Adopsi :
Abd Hamid,S.Pd (http://guraru.org/guru-berbagi/cara-memberi-hukuman-pada-siswa-ala-ki-hajar-dewantara/)

Komentar
Posting Komentar